Selasa, 30 November 2010

Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut Pandangan Konstruktivis Pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/ prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada:



(1) Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi,


(2) Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa,


(3) Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan


(4) Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.


Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.


Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan suatu pendekatan dalam pendidikan matematika, dimana siswa menyelesaikan suatu masalah dengan menghubungkan benda-benda nyata yang ada di sekitarnya. Leonard H. Clark dalam Secondary and Middle School Teaching Methods Fourth Edition mengemukakan:


Realistic learning situations help make the learning meaningful to the pupil and thus help to avoid verbalism. Only meaningful material can to learned efficiently.



Pada awalnya istilah realistik oleh Freudental (1971) dimaksudkan sebagai ide untuk mengembangkan matematika sebagai aktivitas manusia. Keono Gravemeijer dalam Developing Realistic Mathematics Education mengemukakan:


In realistic mathematics education, mathematics is primarily seen as a process, a human activity. At the same time the reinvention principle means that this activity results in mathematics as a product.

Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah. Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).


Dua jenis matematisasi ini diformulasikan oleh Treffers (Suharta, 2001: 3). Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan, dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Beberapa pakar RME merumuskan karaktreristik sebagai berikut (Suharta, 2001):


1) Penggunaan Konteks Dunia Nyata (the use of context)
Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus dimana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika.




Gambar 2.1 Konsep Matematisasi (De Lange dalam Suharta, 2001)


Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyaringan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (Suharta, 2001: 4) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.


2) Penggunaan Model (the use of models, bridging by vertical instrument)


Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.


3) Menggunakan Produksi dan Konstruksi


Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.


4) Interaktivitas (Interactivity)


Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.


5) Menggunakan Keterkaitan (Intertwining)


Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.


Kata realistik merujuk pada pendekatan pendidikan matematika yang telah dikembangkan dan diterapkan di Belanda sejak tahun 1971. Pendekatan ini mengacu pada pendapat Freudental (dalam Gravemeijer, 1994: 82), yang menyatakan bahwa pendidikan matematika harus dikaitkan dengan realita dan kegiatan manusia. Pendekatan itu dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME).


Menurut Gravemeijer (1994: 91), pembelajaran matematika realistik memiliki tiga prinsip yaitu :


a. Guided Reinvention (menemukan kembali)/ Progressive Mathematizing (matematisasi progresif). Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Pembelajaran dimulai dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang selanjutnya melalui aktifitas murid diharapkan menemukan “kembali” sifat, definisi, teorema atau prosedur-prosedur.


b. Didactical Phenomenology (fenomena didaktik). Situasi-situasi yang diberikan dalam suatu topik matematika disajikan atas dua pertimbangan, yaitu melihat kemungkinan aplikasi dalam pembelajaran dan sebagai titik tolak dalam proses pembelajaran matematisasi. Tujuan penyelidikan fenomena-fenomena tersebut adalah untuk menemukan situasi-situasi masalah khusus yang dapat digeneralisasikan dan dapat digunakan sebagai dasar matematisasi vertikal.
c. Self-developed Models (pengembangan model sendiri). Kegiatan ini berperan sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model dibuat murid sendiri dalam memecahkan masalah. Model pada awalnya adalah suatu model dari situasi yang dikenal (akrab) dengan murid. Dengan suatu proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut akan menjadi suatu model yang sesuai dengan penalaran matematika.
Sulanjono (Erna 2005: 9) mengemukakan: Matematika Realistik adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah yang nyata atau yang telah dikuasai atau yang dapat dibayangkan dengan baik oleh siswa digunakan sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian matematika. Setelah siswa menemukan konsep, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-masalah realistik.


Adapun langkah-langkah tahap pembelajaran realistik yaitu :


1. Memberikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.


2. Mendorong siswa menyelesaikan masalah tersebut, baik individu maupun kelompok.


3. Memberikan masalah yang lain pada siswa, tetapi dalam konteks yang sama setelah diperoleh beberapa langkah yang ditentukan dengan memeriksa dan meneliti, kemudian guru membimbing siswa untuk melangkah lebih jauh ke arah proses matematisasi vertikal.


4. Menugaskan siswa baik individu maupun kelompok untuk menyelesaikan permasalahan lain baik terapan maupun bukan terapan. Untuk soal terapan dipilih soal cerita yang konteksnya dekat dengan keseharian siswa, kemudian guru memantau dan membimbing siswa. (Syahrianti, 2004)


Implementasi pembelajaran matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasi pembelajaran matematika realistik sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian pembelajaran matematika realistik di kelas harus didukung oleh sebuah perangkat pembelajaran yang sesuai dengan kontribusi kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta (Asmin, 2001) bahwa, implementasi pembelajaran matematika realistik di kelas meliputi tiga fase, yaitu :



1) Fase Pengenalan


Guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah.


2) Fase Eksplorasi


Siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide, mendiskusikan pola yang dibentuk saat itu. Pada fase ini, peranan guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan.


3) Fase Meringkas


Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti mengajukan pertanyaan kepada siswa yang lain, bernegosiasi, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan membuat keterkaitan. Hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep- konsep utama atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini, guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terima kasih untuk posting yang bermanfaat! Aku tidak akan mendapatkan ini dinyatakan!.