Selasa, 30 November 2010

Pembelajaran Matematika Realistik

Menurut Pandangan Konstruktivis Pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep/ prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada:



(1) Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi,


(2) Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa,


(3) Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya, dan


(4) Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.


Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.


Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) merupakan suatu pendekatan dalam pendidikan matematika, dimana siswa menyelesaikan suatu masalah dengan menghubungkan benda-benda nyata yang ada di sekitarnya. Leonard H. Clark dalam Secondary and Middle School Teaching Methods Fourth Edition mengemukakan:


Realistic learning situations help make the learning meaningful to the pupil and thus help to avoid verbalism. Only meaningful material can to learned efficiently.



Pada awalnya istilah realistik oleh Freudental (1971) dimaksudkan sebagai ide untuk mengembangkan matematika sebagai aktivitas manusia. Keono Gravemeijer dalam Developing Realistic Mathematics Education mengemukakan:


In realistic mathematics education, mathematics is primarily seen as a process, a human activity. At the same time the reinvention principle means that this activity results in mathematics as a product.

Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah. Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai dengan pengalaman siswa, sehingga siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horisontal. Cara-cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek matematiknya ditingkatkan melalui matematisasi vertikal. Melalui proses matematisasi horisontal-vertikal diharapkan siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).


Dua jenis matematisasi ini diformulasikan oleh Treffers (Suharta, 2001: 3). Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan, dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Beberapa pakar RME merumuskan karaktreristik sebagai berikut (Suharta, 2001):


1) Penggunaan Konteks Dunia Nyata (the use of context)
Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus dimana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika.




Gambar 2.1 Konsep Matematisasi (De Lange dalam Suharta, 2001)


Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses penyaringan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (Suharta, 2001: 4) sebagai matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari.


2) Penggunaan Model (the use of models, bridging by vertical instrument)


Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.


3) Menggunakan Produksi dan Konstruksi


Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.


4) Interaktivitas (Interactivity)


Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.


5) Menggunakan Keterkaitan (Intertwining)


Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.


Kata realistik merujuk pada pendekatan pendidikan matematika yang telah dikembangkan dan diterapkan di Belanda sejak tahun 1971. Pendekatan ini mengacu pada pendapat Freudental (dalam Gravemeijer, 1994: 82), yang menyatakan bahwa pendidikan matematika harus dikaitkan dengan realita dan kegiatan manusia. Pendekatan itu dikenal dengan nama Realistic Mathematics Education (RME).


Menurut Gravemeijer (1994: 91), pembelajaran matematika realistik memiliki tiga prinsip yaitu :


a. Guided Reinvention (menemukan kembali)/ Progressive Mathematizing (matematisasi progresif). Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Pembelajaran dimulai dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang selanjutnya melalui aktifitas murid diharapkan menemukan “kembali” sifat, definisi, teorema atau prosedur-prosedur.


b. Didactical Phenomenology (fenomena didaktik). Situasi-situasi yang diberikan dalam suatu topik matematika disajikan atas dua pertimbangan, yaitu melihat kemungkinan aplikasi dalam pembelajaran dan sebagai titik tolak dalam proses pembelajaran matematisasi. Tujuan penyelidikan fenomena-fenomena tersebut adalah untuk menemukan situasi-situasi masalah khusus yang dapat digeneralisasikan dan dapat digunakan sebagai dasar matematisasi vertikal.
c. Self-developed Models (pengembangan model sendiri). Kegiatan ini berperan sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model dibuat murid sendiri dalam memecahkan masalah. Model pada awalnya adalah suatu model dari situasi yang dikenal (akrab) dengan murid. Dengan suatu proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut akan menjadi suatu model yang sesuai dengan penalaran matematika.
Sulanjono (Erna 2005: 9) mengemukakan: Matematika Realistik adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan lingkungan siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah yang nyata atau yang telah dikuasai atau yang dapat dibayangkan dengan baik oleh siswa digunakan sebagai sumber munculnya konsep atau pengertian matematika. Setelah siswa menemukan konsep, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-masalah realistik.


Adapun langkah-langkah tahap pembelajaran realistik yaitu :


1. Memberikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.


2. Mendorong siswa menyelesaikan masalah tersebut, baik individu maupun kelompok.


3. Memberikan masalah yang lain pada siswa, tetapi dalam konteks yang sama setelah diperoleh beberapa langkah yang ditentukan dengan memeriksa dan meneliti, kemudian guru membimbing siswa untuk melangkah lebih jauh ke arah proses matematisasi vertikal.


4. Menugaskan siswa baik individu maupun kelompok untuk menyelesaikan permasalahan lain baik terapan maupun bukan terapan. Untuk soal terapan dipilih soal cerita yang konteksnya dekat dengan keseharian siswa, kemudian guru memantau dan membimbing siswa. (Syahrianti, 2004)


Implementasi pembelajaran matematika realistik di Indonesia harus dimulai dengan mengadaptasi pembelajaran matematika realistik sesuai dengan karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian pembelajaran matematika realistik di kelas harus didukung oleh sebuah perangkat pembelajaran yang sesuai dengan kontribusi kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta (Asmin, 2001) bahwa, implementasi pembelajaran matematika realistik di kelas meliputi tiga fase, yaitu :



1) Fase Pengenalan


Guru memperkenalkan masalah realistik dalam matematika kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi pemahaman (setting) masalah.


2) Fase Eksplorasi


Siswa dianjurkan bekerja secara individual, berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja, mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman atau ide, mendiskusikan pola yang dibentuk saat itu. Pada fase ini, peranan guru adalah memberikan bantuan seperlunya kepada siswa yang memerlukan bantuan.


3) Fase Meringkas


Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti mengajukan pertanyaan kepada siswa yang lain, bernegosiasi, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan membuat keterkaitan. Hasil dari diskusi, siswa diharapkan menemukan konsep- konsep utama atau pengetahuan matematika formal sesuai dengan tujuan materi. Dalam fase ini, guru juga dapat membuat keputusan pengajaran yang memungkinkan semua siswa dapat mengaplikasikan konsep atau pengetahuan matematika formal.


Selengkapnya...

Pendekatan Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning)

Dewasa ini, pendekatan pembelajaran kontekstual telah berkembang di berbagai negara maju dengan nama yang berlainan. Di negeri Belanda misalnya, pembelajaran ini diberi nama dengan Realistic Mathematics Education (RME) yang menyatakan bahwa pembelajaran matematika harus dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Di Amerika berkembang apa yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL) yang intinya membantu guru untuk mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa untuk mengkaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka. Di Jepang pembelajaran seperti ini berkembang dengan nama The Open-Ended Approach (DEA), suatu pembelajaran yang menekankan pada guru untuk mengawali setiap pembelajaran dengan sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa dan menyarankan proses dan produk yang bervariasi.



Kontekstual berasal dari bahasa Latin yang terdiri atas dua kata con = with + textum = woven, bermaksud mengikuti konteks atau dalam konteks. Konteks juga berarti keadaan, situasi dan kejadian.


Pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.
Pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Contextual Teaching and Learning adalah sebuah konsep yang membantu guru mencari hubungan antara subjek bahan bacaan ke dalam situasi dunia nyata dan memotivasi siswa untuk membuat hubungan antara dua ilmu pengetahuan dan mengaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga, masyarakat maupun dalam konteks yang lebih luas (Blanchard ; 2002).


Karakteristik pembelajaran berbasis kontekstual yakni; kerja sama; saling menunjang; menyenangkan (tidak membosankan); belajar dengan bergairah; pembelajaran terintegrasi; menggunakan berbagai sumber; siswa aktif; sharing dengan teman; siswa kritis guru kreatif; dinding kelas & lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain; laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain.


Terdapat tujuh komponen utama pendekatan pembelajaran kontekstual yaitu:


a. Konstruktivisme (Constructivism)


Kontruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berpikir pendekatan kontekstual. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil. Akan tetapi dalam proses pembelajaran, siswa membangun / mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan mengajar dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Sehingga yang menjadi pusat kegiatan pembelajaran adalah siswa (Students Center Learning), bukan guru.


b. Menemukan (Inquiry)


Menemukan (Inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hanya hasil mengingat tetapi hasil dari menemukan sendiri. Kata kunci dari Inquiry adalah siswa menemukan sendiri. Adapun siklus dari Inquiry yaitu Observasi, Bertanya, Mengajukan dugaan (Hipotesis), Mengumpulkan data, dan Menyimpulkan.


c. Bertanya (Questioning)


Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran CTL untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk: (1) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, (2) mengecek pemahaman siswa, (3) membangkitkan respon pada siswa, (4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, (6) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, (7) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan siswa, dan (8) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa. Questioning dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.


d. Masyarakat Belajar (Learning Community)


Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Dengan pendekatan kontekstual, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antarteman, antarkelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu.
e. Pemodelan (Modeling)
Dalam suatu pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Dalam pendekatan kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa dapat ditunjuk untuk memberikan contoh pada temannya. Siswa contoh tersebut dikatakan sebagai model, siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai standar kompetensi yang harus dicapai.


f. Refleksi (Reflection)


Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dalam hal belajar di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Di akhir pembelajaran, biasanya guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi berupa pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya pada hari itu, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, diskusi, atau hasil karya


g. Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)


Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa yaitu PR, Kuis, Presentasi atau penampilan siswa, Demonstrasi, Laporan, Jurnal, Hasil tes tulis, Karya tulis.


Suatu kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual, jika menerapkan tujuh komponen utama tersebut dalam pembelajarannya. Untuk melaksanakan hal itu dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
Penerapan pendekatan kontekstual di dalam kelas secara garis besar langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya, (2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua pokok bahasan, (3) Mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya, (4) Menciptakan masyarakat belajar, (5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, (6) Melakukan refleksi di akhir pertemuan, dan (7) Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.


Ada beberapa alasan yang mendasari perlunya penerapan pendekatan kontekstual dalam proses belajar mengajar menurut Semiawan (1992) yaitu :


1. Tidak mungkin guru mengajarkan semua fakta dan konsep pada siswa.


2. Konsep-konsep yang rumit dan abstrak akan mudah dipahami dengan melakukan sendiri upaya penemuan konsep.


3. Penemuan ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak sehingga untuk menanamkan sikap alamiah anak perlu dilatih untuk selalu bertanya, berpikir, dan bertindak secara kreatif.


Pembelajaran kontekstual menekankan pada kemampuan menyajikan materi dengan mengambil pendekatan dunia nyata siswa. Pemahaman rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa. Pemahaman rumus itu relatif berbeda antara siswa yang satu dengan siswa lainnya sesuai dengan skemata siswa (on going process of development), dengan demikian bagaimanapun sulitnya sebuah pembelajaran dapat diatasi dengan mengkontekstualkan permasalahan dan mentransfernya ke dalam dunia nyata siswa. Oleh karena itu kemampuan mengkontekstualkan pelajaran harus dimiliki oleh seorang guru atau orang tua dalam upaya merangsang daya ingat siswa.


Selengkapnya...

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Berhasil atau tidaknya proses belajar untuk mencapai sasaran yang diinginkan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu (1) faktor intern dan (2) faktor ekstern. Berikut ini penulis akan menjelaskan masing-masing bagian tersebut:




a. Faktor Intern


Kesulitan yan bersifat intern adalah suatu hambatan dalam belajar yang bersumber dari dalam diri individu. Yang termasuk faktor ini adalah faktor fisik dan psikis. Faktor ini sangat besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar siswa. Faktor yang demikian tidak disadari oleh siswa yang bersangkutan, dan walaupun disadari ia menganggapnya rendah dan sama sekali tidak berusaha menghilangkan dan memperbaiki.
Sebab-sebab yang tercakup dalam golongan ini adalah sebagai berikut:


1. Kesehatan


Menurut Slameto (2003 : 54) sehat berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya/bebas dari penyakit. Kesehatan adalah keadaan atau hal sehat. Kesehatan berpengaruh terhadap belajarnya.


Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya lemah, kurang darah ataupun ada gangguan-gangguan/kelainan-kelainan fungsi alat inderanya serta tubhnya. Agar seseorang dapat belajar denngan baik haruslah mengusahakan kesehatan badannya tetap terjamin dengan cara selalu mengindahkan ketentuan-ketentuan tentang bekerja, belajar, istirahat, tidur, makan, olahraga, rekreasi dan ibadah.


Jadi setiap individu dalam melakukan pelajaran mengutamakan kesehatan, sebab jika kesehatan terganggu maka akan mempengaruhi individu tersebut dalam beraktivitas. Anak yang tidak sehat tidak dapat belajar dengan baik, karena kesehatannya terganggu.


2. Konsentrasi, Minat dan Motivasi


a. Konsentarsi


Konsentarsi dalam belajar berarti pemusatan pikiran terhadap sesuatu yang sedang dipelajari dengan menyampingkan semua hal yang tidak ada hubungannya dengan yang sedang dipelajari tersebut.


Jadi konsentrasi dalam belajar sangat diperlukan. Menurut teori Gestlat pengertian merupakan inti dari belajar, sedang untuk mengerti sesuatu yang sedang dipelajari memerlukan konsentrasi. Sumber utama dalam belajar adalah dimengertinya hal yang dipelajari.


Pada dasarnya konsentrasi merupakan akaibat dari perhatian, terutama perhatian yang bersifat spontan yang ditimbulkan oleh minat terhadap suatu hal. Akan tetapi perhatian yang disengaja dapat pula menghasilkan konsentrasi.


b. Minat



Minat adalah kecenderungan yang tetap untuk memperhatikan dan mengenang bebrapa kegiatan. Kegiatan yang diminati seseorang diperhatikan terus-menerusyang disertai dengan rasa senang. Seseorang yang mempunyai minat akan selalu diikuti dengan persaan senang sehingga diperoleh kepuasan.


Minat mempengaruhi proses dan hasil belajar, jika seseorang yang tidak ada minat untuk mempelajari sesuatu maka tidak dapat diharapkan bahwa ia akan berhasil dengan baik dalam mempelajari hal tertentu. Begitu pula sebaliknya jika seseorang mempunyai minat maka dapat diharapkan hasil yang lebih baik.


Minat sangat menentukan sukses atau tidaknya kegiatan seseorang termasuk dalam hal belajar. Minat yang besar akan mendorong motivasi. Demikian pula halnya dalam mengikuti pelajaran di sekolah, setiap siswa hendaknya mempunyai minat yang besar terhadap pelajaran yang sedang diikutinya. Kurang minat menyebabkan kurangnya perhatian dan usaha untuk belajar, sehingga menghambat studinya dalam belajar.
Jadi minat mempengaruhi proses dan hasil belajar, jika seseorang yang tidak ada minat untuk mempelajari sesuatu maka tidak dapat diharapakan bahwa ia akan berhasil dengan baik dalam mempelajari hal tertentu. Begitu pula sebaliknya jika seseorang mempunyai minat maka dapat diharpkan hasil yang lebih baik.


c. Motivasi


Motivasi merupakan penentu berhasil tidaknya seseorang dalam mencapai tujuan sehingga semakin besar motivasi akan semakin besar kesuksesan belajar. Begitu pula sebaliknya seseorang yang motivasinya lemah maka kecil peluang untuk mencapai kesuksesan belajar.


Sering dijumpai siswa memiliki intelegensi tinggi, tetapi hasil belajar matematika yang dicapainya rendah akibat kemampuan intelektual yang dimilikinya tidak/kurang berfungsi secara optimal. Salah satu faktor pendukung agar kemampuan intelektual yang dimiliki siswa dapat berfungsi secara optimal adalah adanya motivasi untuk berprestasi lebih tinggi yang bersumber dari dalam dirinya.
Jadi faktor motivasi dalam belajar memberikan andil yang besar untuk mendorong siswa agar berprestasi lebih baik.


3. Cara Belajar


Untuk dapat memahami dan mengerti isi dari proses belajar mengajar di sekolah diperlukan adanya kecakapan belajar mandiri yang baik, mencatat hal-hal yang perlu, bertanya, dan mengajukan masalah-masalah yang ada dalam dirinya, menanggapi materi yang diajarkan dan sebelum mengikuti pelajaran selanjutnya terlebih dahulu mempelajarinya.


4. Kurang Penguasaan Bahasa dan Simbol


Matematika selain memiliki objek yang abstrak dan strukturnya yang berpola deduktif juga menggunakan bahasa simbolis. Jadi belajar matematika berarti belajar menggunakan dan memanipulasi simbol-simbol. Dimana sebelum memanipulasi simbol-simbol itu, yang perlu diketahui adalah memahami arti dari ide yang disimbolkan itu. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi verbalisasi, yaitu menghapal simbol tanpa diketahui arti yang disimbolkan. Namun dalam belajar matematika menghapal tetap diperlukan, tetapi sebelum dihapal terlebih dahulu harus diketahui artinya.


5. Tidak Dapat Menerapkan Rumus-Rumus dan Memahami Soal-Soal Matematika


Seseorang siswa yang tidak dapat menerapkan rumus-rumus dan memahami soal-soal matematika yang diberikan tentu akan mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal-soal tersebut, dan tidak kalah pentingnya adalah kemampuan dalam pemahaman terhadap soal-soal matematika. Seorang siswa dikatakan memahami sesuatu apabila ia mampu menjelaskannya. Di lain pihak, matematika sebagai bahan pelajaran yang objeknya berupa fakta, konsep, operasi, dan prinsip yang kesemuanya adalah abstrak, membutuhkan kemampuan penerapan rumus-rumus yang kemudian mampu ia pahami. Jadi kemampuan memanipulasi rumus-rumus yang kemudian mampu ia pahami. Jadi kemampuan memanipulasi rumus-rumus yang ada dan pemahaman mengenai soal-soal matematika sangat penting.


a. Faktor Ekstern


Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar, dapat dikelompokkan menjadi tiga faktor , yaitu faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.


1) Faktor Keluarga


1. Kurang perhatian Orang Tua


Anak belajar perlu dorongan dan perhatian orang tua. Bila anak sedang belajar jangan diganggu dengan tugas-tugas di rumah. Kadang-kadang anak mengalami lemah semangat, orang tua wajib memberI pengertian dan perhatian serta mendorongnya, membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak di sekolah. Kita perlu menghubungi guru anaknya untuk mengetahui perkembangannya.


2. Pola Asuh Orang Tua


Pola asuh orang tua dalam mendidik anaknya besar pengaruhnya terhadap belajar anaknya. Orang tua yang kurang/tidak memperhatikan pendidikan anaknya, misalnya mereka acuh tak acuh terhadap belajar anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya, tidak menyediakan/melengkapi alat belajarnya, tidak memperhatikan anaknya belajar atau tidak, tidak mau tahu bagaimanakah kemajuan belajar anaknya, kesulitan-kesulitan yang dialami dalam belajar dan lain-lain, dapat menyebabkan anak tidak/kurang berhasil dalam belajarnya. Mungkin anak sendiri sebetulnya pandai, tetapi karena cara belajarnya tidak teratur, akhirnya kesukaran-kesukaran menumpuk sehingga mengalami ketinggalan dalam belajarnya dan akhirnya anak malas belajar. Hasil yang didapatkan, nilai/hasil belajarnya tidak memuaskan bahkan mungkin gagal dalam studinya. Hal ini dapat terjadi pada anak dari keluarga yang kedua orang tuanya terlalu sibuk mengurus pekerjaan mereka atau kedua orang tua memang tidak mencintai anaknya.


Mendidik anak dengan cara memanjakannya adalah cara mendidik yang tidak baik. Orang tua yang terlalu kasihan terhadap anaknya tak sampai hati untuk memaksa anaknya belajar, bahkan membiarkan anaknya tidak belajar dengan alasan segan, adalah tidak benar. Jika hal itu dibiarkan berlarut-larut, anak akan menjadi nakal, berbuat seenaknya saja, pastilah belajarnya menjadi kacau. Sebaliknya, jika cara mendidik anak dengan cara memperlakukannya dengan keras juga merupakan cara mendidik yang kurang baik karena anak akan mengalami tekanan sehingga akan menimbulkan rasa takut dan pada akhirnya benci terhadap belajar. Apabila hal ini terjadi terus menerus, maka akan menimbulkan gangguan kejiwaan pada anak. Orang tua yang demikian menginginkan anaknya mencapai prestasi yang sangat baik, atau mereka mengetahui bahwa anakanya bodoh tetapi tidak tahu apa yang menyebabkan, sehingga anak dikejar-kejar untuk mengatasi/mengejar kekurangannya.


Disinilah perlu bimbingan dan penyuluhan memegang peranan yang penting. Anak/siswa yang mengalami kesukaran-kesukaran di atas dapat ditolong dengan memberikan bimbingan belajar yang sebaik-baiknya. Tentu saja keterlibatan orang tua akan sangat mempengaruhi keberhasilan bimbingan tersebut.


3. Suasana Rumah/Keluarga


Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang bersifat informal dan merupakan pelekat dasar pendidikan. Pendidikan dari keluarga merupakan pendidikan yang utama, pelekat dasar dari pendidikan formal. Oleh sebab itu perkembangan belajar siswa sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Keluarga perlu mengusahakan perbaikan mutu belajar anak di rumah dengan menciptakan kondisi/situasi keluarga yang aman, tentram dan damai dimana anak akan merasa tenang dalam belajar serta ditunjang dengan tersedianya fasilitas-fasilitas yang akan menunjang keberhasilan anak dalam belajar, yang akan sendirinya akan meningktkan mutu sekolah.
Disamping itu perlu diyakini bahwa antara sekolah dan keluarga dapat menjalin kemitraan yang sangat penting artinya bagi pendidikan anak-anak tersebut.


4. Fasilitas Belajar di Rumah


Belajar dengan baik memerlukan tempat dan fasilitas yang memadai seperti ruang belajar, alat tulis-menulis, buku-buku, meja, kursi, penerangan, dan bebas dari keributan. Jika hal tersebut di atas tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan masalah kesulitan belajar bagi anak.


5. Keadaan Ekonomi Keluarga


Keadaan ekonomi keluarga erat hubungannya dengan belajar anak. Anak yang sedang belajar selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, juga harus memiliki fasilitas belajar yang memadai. Fasilitas belajar yang dibutuhkan oleh anak dapat terpenuhi jika keadaan ekonomi keluarga juga mendukung. Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi, akibatnya kesehatan anak terganggu, sehingga belajar anak juga terganggu. Akibat yang lain yaitu anak sering dirundung kesedihan dan merasa minder terhadap temannya yang lain. Hal ini pasti akan menggangu belajar anak.


Sebaliknya, keluarga yang kaya raya, orang tua sering mempunyai kecenderungan memanjakan anaknya. Anak hanya bersenang-senang dan berfoya-foya. Akibatnya anak kurang dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar. Hal tersebut juga dapat mengganggu belajar anak.


6. Kebudayaan Keluarga


Tingkat pendidikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik, agar mendorong semangat untuk belajar.


7. Hubungan Antar Anggota Keluarga


Hubungan antar anggota yang paling penting adalah hubungan antara orang tua dengan anak. Selain itu, hubungan dengan saudara dan anggota keluarga yang lain juga dapat mempengaruhi belajar anak. Sebetulnya, hubungan antar anggota keluarga ini erat hubungannya dengan cara orang tua mendidik.


Demi kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu diusahakan hubungan yang baik di dalam keluarga anak tersebut. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk mensukseskan belajar anak sendiri.


2) Faktor Sekolah


1. Metode Mengajar


Metode mengajar adalah suatu cara/jalan yang harus dilalui di dalam mengajar. Disamping itu, mengajar juga dapat diartikan sebagai penyajian bahan pelajaran oleh orang kepada orang lain agar orang lain itu menerima, menguasai dan mengembangkannya. Di dalam lembaga pendidikan, orang lain yang disebut di atas sebagai murid/siswa, mahasiswa yang dalam proses belajar agar dapat menerima, menguasai, lebih-lebih mengembangkan bahan pelajaran itu, maka cara-cara mengajar serta cara belajar haruslah setepat-tepatnya dan seefisien serta seefektif mungkin.
Dari uran di atas, metode mengajar sangat mempengaruhi belajar. Metode mengajar yang kurang baik dapat mempengaruhi belajar siswa karena tidak/kurang dapat menerima informasi atau materi yang disampaikan.


2. Hubungan Antar Guru dengan Siswa


Proses belajar mengajar terjadi antara guru dengan siswa. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh hubungan yang ada dalam proses itu sendiri. Jadi cara belajar siswa juga dipengaruhi oleh hubungan dengan gurunya.


Apabila terjalin hubungan yang baik maka siswa akan menyukai gurunya, dan juga akan menyukai mata pelajaran yang diberikannya sehingga siswa akan berusaha mempelajari sebaik-baiknya. Dan sebaliknya, apabila siswa tidak menyukai gurunya, maka ia akan segan mempelajari mata pelajaran yang diberikannya.


Guru yang kurang berinterkasi dengan siswa secara akrab akan menyebabkan proses belajar mengajar itu kurang lancar. Juga siswa merasa jauh dari guru, maka segan berpartisipasi secara aktif dalam belajar.


3. Hubungan Antar Siswa dengan Siswa


Guru yang kurang mendekati siswa dan kurang bikasana tidak akan melihat bahwa di dalam kelas ada grup yang saling bersaing secara tidak sehat. Jiwa kelas tidak terbina, bahkan hubungan masing-masing siswa tidak tampak.


Siswa yang mempunyai sifat-sifat atau tingkah laku yang kurang menyenangkan teman lain, mempunyai rasa rendah diri atau sedang mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompok. Akibtnya, makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya. Lebih-lebih lagi ia menjadi malas untuk masuk sekolah dengan alasan yang tidak-tidak karena di sekolah mengalami perlakuan yang kurang menyenangkan dari teman-temannya. Jika hal ini terjadi, segeralah siswa diberi pelayanan bimbingan dan penyuluhan agar ia dapat diterima kembali ke dalam kelompoknya.
Menciptakan hubungan yang baik antar siwa adalah perlu, agar dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap belajar siswa.


3) Faktor Masayarakat


1. Mass Media


Yang termasuk dalam mass media adalah bioskop, radio, TV, surat kabar, majalah, buku-buku, komik-komik dan lain-lain. Semuanya itu ada dan beredar dalam masyarakat.
Mass media yang baik memberikan pengaruh yang positif terhadap siswa dan juga terhadap belajarnya. Dan sebaliknya, jika mass media yang jelek juga akan berpengaruh terhadap belajarnya.


2. Teman Bergaul


Pengaruh-pengaruh dari teman bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya darpada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan berpengaruh baik terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya. Teman bergaul yang jelek pasti mempengaruhi yang bersifat buruk juga.


Agar siswa dapat belajar dengan baik, maka perlulah agar siswa memiliki teman bergaul yang baik-baik dan pembinaan pergaulan yang baik serta pengawasan dari orang tua dan pendidik harus cukup bijaksana (jangan terlalu ketat tetapi jangan juga lengah).


3. Bentuk Kehidupan Masyarakat


Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga berpengaruh terhadap belajar siswa. Masayarakat yang memiliki perilaku yang kurang baik yang berada di sekitar siswa akan berpengaruh jelek kepada siswa (anak) yang berada di sekitar itu. Siswa akan tertarik terhadap apa yang dilakukan oleh orang yang berada di sekitarnya sehingga dapat mengganggu belajarnya bahkan siswa tersebut akan kehilangan semangat belajarnya karena perhatiannya semula terpusat kepada pelajaran berpindah keperbuatan-perbuatan yang jelek yang selalu dilakukan oleh orang-orang disekitarnya. Dan sebaliknya, jika di sekitar siswa tersebut adalah orang-orang yang terpelajar yang baik-baik, mereka mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya, antusias dengan cita-cita yang luhur akan masa depan anaknya, siswa terpengaruh juga ke hal-hal yang dilakukan oleh orang yang berada di lingkungannya. Pengaruh itu dapat mendorong semangat siswa untuk belajar lebih giat lagi.


Selengkapnya...

Kamis, 04 November 2010

Proposal Pengadaan Komputer


Bagi Anda yang membutuhkan Proposal Pengadaan Komputer di Sekolah, dapat di download di sini dan Estimsasi anggarannya bisa di download di sini.

Selengkapnya...